DILEMA DISKON
DILEMA DISKON
Buat para penjual/retailer agaknya menjalankan acara diskon adalah salah satu cara yang ampuh untuk menarik traffic customer/pembeli manakala bisnis sedang lesu, overstock (kelebihan barang karena produknya tidak tepat atau salah perkiraan target penjualan), atau memang produknya sudah off season.
Strategi ini kerap dijalankan sebagai salah satu solusi untuk menjaga cash flow atau perputaran uang agar bisnis tetap bisa berjalan walaupun ada efeknya dimana margin tentu sedikit tergerus.
Solusi in, untuk sesaat, sepertinyai jitu apalagi untuk barang ber-merk yang kerap diasosiasikan sebagai "barang mahal" dimana potongan harga kerap menjadi salah satu iming iming yang menarik sehingga tak jarang ada merk yang menjalankan diskon setahun dua kali sampai bisa bisanya diantri pengunjungnya begitu acara pembukaan toko/clearance sale dimulai.
Tapi benarkah strategi diskon ini tepat? Untuk jangka pendek boleh jadi iya. Tapi untuk jangka panjang beragam fashion brand berkelas internasional atau Nationa Brand, justru kerap menghindarinya kecuali untuk acara seasonal atau clearance yang maksimal dijalankan dua sampai empat kali setahun. Maklum, buat mereka, menjaga citra brand image mereka adalah sesuatu yang penting untuk jangka panjang.
Lantas gimana caranya kalo sudah buat acara diskon setahun dua sampai empat kali masih tersisa juga produknya? Solusinya adalah menempatkan sisa produk yang sudah tidak lengkap lagi size dan range warnanya ini ke outlet mereka di pinggir kota. Namanya Warehouse, Branded House, atau Discount Store.
Solusi ini biasanya adalah jalan terakhir pilihan mereka. Cara lain yang umumnya ditempuh adalah dengan menjual produk yang lambat penjualannya ini dengan cara menurunkan harganya dan menjualnya dalam satu paket belanja dimana barang yang "mati" dikemas menjadi semacam produk yang dijual lebih murah setelah kita berbelanja produk regular price lainnya atau beli dua produk dengan harga murah dalam satu kemasan Special Offer dalam packaging yang cantik.
Diskon memang cara mudah untuk menjual. Tak heran banyak merk lokal yang keranjingan melakukan diskon sepanjang masa di counter jual mereka bahkan untuk produk terbaru. Mereka berharap margin berkurang dikit tapi volume jual bisa banyak dan total rupiah yang didapat juga besar. Tapi mereka lupa kalo kompeitor kini juga agresif untuk juga melakukan hal serupa. Akhirnya, mereka berlomba menaikkan diskon. Dan celakanya begitu mereka berhenti diskon, penjualan mereka langsung "terjun payung".
Ada juga yang melakukan strategi "Mark up cancellation" dimana pada label produk dipasang harga tinggi tapi buat yang mau beli dapat diskon 30%-50% Tapi ini membangun citra yang kurang baik buat brand karena terkesan mahal atau "akal akalan" penjual.
Bagaimana pun menghasilkan produk yang tepat dan punya value dan citra yang baik adalah hal yang jaug lebih penting selain customer service yang baik untuk merebut hati pembeli daripada sekedar diskon, bukan? Setujukah Anda yang berbisnis fashion? (Harry Gunawan)
Buat para penjual/retailer agaknya menjalankan acara diskon adalah salah satu cara yang ampuh untuk menarik traffic customer/pembeli manakala bisnis sedang lesu, overstock (kelebihan barang karena produknya tidak tepat atau salah perkiraan target penjualan), atau memang produknya sudah off season.
Strategi ini kerap dijalankan sebagai salah satu solusi untuk menjaga cash flow atau perputaran uang agar bisnis tetap bisa berjalan walaupun ada efeknya dimana margin tentu sedikit tergerus.
Solusi in, untuk sesaat, sepertinyai jitu apalagi untuk barang ber-merk yang kerap diasosiasikan sebagai "barang mahal" dimana potongan harga kerap menjadi salah satu iming iming yang menarik sehingga tak jarang ada merk yang menjalankan diskon setahun dua kali sampai bisa bisanya diantri pengunjungnya begitu acara pembukaan toko/clearance sale dimulai.
Tapi benarkah strategi diskon ini tepat? Untuk jangka pendek boleh jadi iya. Tapi untuk jangka panjang beragam fashion brand berkelas internasional atau Nationa Brand, justru kerap menghindarinya kecuali untuk acara seasonal atau clearance yang maksimal dijalankan dua sampai empat kali setahun. Maklum, buat mereka, menjaga citra brand image mereka adalah sesuatu yang penting untuk jangka panjang.
Lantas gimana caranya kalo sudah buat acara diskon setahun dua sampai empat kali masih tersisa juga produknya? Solusinya adalah menempatkan sisa produk yang sudah tidak lengkap lagi size dan range warnanya ini ke outlet mereka di pinggir kota. Namanya Warehouse, Branded House, atau Discount Store.
Solusi ini biasanya adalah jalan terakhir pilihan mereka. Cara lain yang umumnya ditempuh adalah dengan menjual produk yang lambat penjualannya ini dengan cara menurunkan harganya dan menjualnya dalam satu paket belanja dimana barang yang "mati" dikemas menjadi semacam produk yang dijual lebih murah setelah kita berbelanja produk regular price lainnya atau beli dua produk dengan harga murah dalam satu kemasan Special Offer dalam packaging yang cantik.
Diskon memang cara mudah untuk menjual. Tak heran banyak merk lokal yang keranjingan melakukan diskon sepanjang masa di counter jual mereka bahkan untuk produk terbaru. Mereka berharap margin berkurang dikit tapi volume jual bisa banyak dan total rupiah yang didapat juga besar. Tapi mereka lupa kalo kompeitor kini juga agresif untuk juga melakukan hal serupa. Akhirnya, mereka berlomba menaikkan diskon. Dan celakanya begitu mereka berhenti diskon, penjualan mereka langsung "terjun payung".
Ada juga yang melakukan strategi "Mark up cancellation" dimana pada label produk dipasang harga tinggi tapi buat yang mau beli dapat diskon 30%-50% Tapi ini membangun citra yang kurang baik buat brand karena terkesan mahal atau "akal akalan" penjual.
Bagaimana pun menghasilkan produk yang tepat dan punya value dan citra yang baik adalah hal yang jaug lebih penting selain customer service yang baik untuk merebut hati pembeli daripada sekedar diskon, bukan? Setujukah Anda yang berbisnis fashion? (Harry Gunawan)
Komentar
Posting Komentar